BI: Rupiah Hari Ini Lebih Kuat dari Krisis 1998, Inilah Fakta Nyatanya


JAKARTA, News

– Nilai tukar rupiah terus merosot dalam beberapa hari terakhir. Walaupun begitu, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa situasi sekarang berbeda dari krisis moneter tahun 1998.

Mengutip data
Bloomberg
Pada hari Rabu tanggal 26 Maret 2025, nilai tukar rupiah di pasar spot berakhir lebih kuat dengan kenaikan 0,14% atau meningkat 24 poin menjadi level Rp 16.587,5 terhadap dolar Amerika Serikat dari posisi penutupan sebelumnya yang mencapai Rp 16.611 per dolar AS.

Pada saat bersamaan, menurut nilai tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah tercatat pada angka Rp 16.588 per dolar AS, naik dibandingkan dengan hari sebelumnya yang berada di posisi Rp 16.622 per dolar AS.

Pelemahan Rupiah Terjadi Bertahap

Solikin M. Juhro, kepala departemen kebijakan makroprudensial Bank Indonesia, menggariskan bahwa penurunan nilai rupiah sekarang ini berkembangan perlahan-lahan, tidak seperti krisis tahun 1998 di mana ada penurunan mendadak dan signifikan dari mata uang tersebut.

“Bila kita ringkas, apakah situasi sekarang setara dengan krisis keuangan tahun 1998? Menurut saya hal itu belum tercapai,” ungkap Solikin pada Diskusi Media yang digelar di Jakarta, Rabu (26/3/2025).

Tahun 1998, nilai tukar rupiah mengalami penurunan drastis dari kurang dari Rp 10.000 per dolar AS hingga mencapai angka Rp 16.000 per dolar AS dalam jangka waktu yang sangat cepat.

Pada waktu tersebut, jumlah cadangan devisa Indonesia baru berkisar 20 miliar dolar AS, yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan posisi saat ini yang telah meningkat menjadi 154,5 miliar dolar AS pada akhir Februari 2025.

Di samping itu, BI bersama dengan pemerintah telah mengembangkan alat yang lebih efektif untuk mencegah dan menemukan ancaman terhadap pelemahan ekonomi.

Krisis moneter tahun 1998 dibarengi dengan kerentanan ekonomi yang meluas, mencakup sektor perbankan dan hutang yang sulit untuk dideteksi atau dikendalikan secara efektif pada masa tersebut oleh pemerintahan saat itu.

Ekonomi Dasar Indonesia Tetap Stabil

Secara makroekonomi, keadaan Indonesia sekarang relatif lebih baik daripada tahun 1998. Beberapa indikator seperti Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat inflasi, pemberian kredit, modal, serta neraca perdagangan dan saldo transaksi internasional tetap terkendali dengan baik.

Walau begitu, Bank Indonesia dan pemerintah masih harus mengawasi dengan hati-hati dinamika ekonomi baik internasional maupun dalam negeri, juga elemen-elemen seperti aspek sosial-politik dan terobosan teknologi baru yang berpotensi menimbulkan gangguan pada stabilitas ekonomi.

“Krisis dapat berasal dari sebab-sebab yang tak hanya berkaitan dengan bidang ekonomi, tetapi juga melibatkan aspek-operasional serta teknologi digital. Karena itu, upaya menyelesaikan krisis perlu dikerjakan dalam satu sistem yang terpadu,” jelas Solikin.

Pengaruh Penurunan Nilai Rupiah pada Perekonominan

Pada acara diskusi publik yang diadakan oleh Indef, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), yaitu Eko Listiyanto, mengungkapkan bahwa penurunan nilai tukar rupiah bisa mempengaruhi kestabilan ekonomi Indonesia, khususnya dalam periode waktu singkat.

Kemungkinan perubahan nilai tukar bisa berdampak pada harapan pasar mengenai situasi perekonomian, misalnya menjelang hari raya Idul Fitri.

“Bila rupiah tetap mengalami fluktuasi, hal ini akan mempengaruhi situasi ekonomi makroskopis kami,” katanya.

Selanjutnya, penurunan nilai tukar rupiah akan memiliki dampak langsung terhadap pembayaran suku bunga hutang dalam mata uang asing dan sekaligus menambah bebannya. Di samping itu, hal ini juga dapat mendorong pertambahan biaya subsidi energi, lebih-lebih bagi bahan bakar minyak (BBM), yang besar sekali proporsinya dari impor.

Kenakan tarif yang lebih tinggi untuk barang-barang impor pun bisa mendorong kenaikan harga dari suatu produk dalam pasaran lokal, karena Indonesia tetap membutuhkan banyak bahan mentah luar negeri.

Secara umum, apabila nilai tukar rupiah menurun, potensi risiko yang timbul lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh. Jangan gampang terpengaruhi dengan anggapan bahwa penurunan rupiah dapat memacu pertumbuhan ekspor, kecuali negara ini telah memiliki fondasi ekspor yang sangat solid,” tandas Eko.

Mengingat perubahan ekonomi yang sedang berlangsung, DI dan pihak pemerintah dituntut untuk bisa mempertahankan kesetabilan mata uang serta merumuskan strategi yang pas guna mencegah sejumlah ancaman finansial yang mungkin timbul pada hari depan.


(Tim Redaksi: Isna Rifka Sri Rahayu, Agustinus Rangga Respati, Teuku Muhammad Valdy Arief, Sakina Rakhma Diah Setiawan)

Pos terkait